Sekedar "omong omong" ngalor ngidul tadi malem ama temen - temen, akhirnya nyampe ke suatu hal yang kami rasa sudah sering dan sangat biasa dalam masyarakat kita ........... yakni tentang suap menyuap .... entah itu untuk suatu hukum, untuk pekerjaan, ataupun sekedar untuk memperoleh sebuah perguruan tinggi / sekolah favorit.
Yang menjadi "perdebatkan" kami waktu itu adalah hukum suap menyuap tersebut..... ( kenapa dalam masyarakat sepertinya dianggap wajar-wajar saja ??? ) apakakah hal ini dikarenakan belum tahu atau pura pura tidak tahu....... Sebab boleh jadi bilik ditilik dari pelaku suap menyuap tersebut adalah juga seorang moslem notabene juga termasuk "pemuka masyarakat" Praktik suap menyuap bisa dibilang sudah menjadi budaya disebagian besar masyarakat kita. Untuk tiap urusan apapun rasanya aneh bila tidak ada unsur suap-menyuapnya. Dari urusan masuk sekolah, melamar kerja hingga pemenangan kasus hukum dibutuhkan uang pelicin bila urusan mau cepat beres. Bolehkah sebenarnya suap-menyuap seperti yang umum terjadi dilakukan? bagaimanakah hukumnya dalam agama Islam yang mulia ini?
Suap-menyuap dalam Islam disebut juga ar-Risywah, Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk.
Jadi, ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil”
[QS. Al-Baqarah: 188]
Islam sangat mengharamkan praktik suap-menyuap karena dengan cara bathil inilah sebuah ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika Rasulullah mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580]
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap-menyuap. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.” [HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]
Setelah mengetahui dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah yang menegaskan tentang keharaman praktik suap-menyuap (ar-Risywah) maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaku, penerima dan orang-orang yang terlibat dalam praktik suap tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan melainkan kecelakaan yang akan Allah berikan kepadanya, jika tidak di dunia tapi pasti di akhirat.
Lalu bagaimana bila pelaku suap maupun orang yang disuap berdalih bahwa yang diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan ungkapan lainnya?
Alasan-alasan seperti itu juga telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya,
“Siapa saja yang menolong saudaranya kemudian dia dihadiahkan sesuatu maka ia telah masuk ke dalam pintu besar dari Riba.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya]
Bahkan Imam al-Bukhari membuat bab khusus (Bab Siapa saja yang tidak menerima hadiah karena pekerjaan) yang menukil perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu,
“Pada zaman Rasulullah pemberian itu dinamakan Hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan risywah (suap)”. [Shahih Bukhari]
Para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, ia berkata,
“Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan, ”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri—orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan—untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.” [Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161]
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata,
“Ibnu Ruslan berkata dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai Ijma’.
ash-Shan’aniy dalam Subulussalam (2/24)
“Dan suap-menyuap itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 188].”
Sebagai muslim tidak seharusnya kita menempuh jalan pintas seperti ini dimana kebenaran dapat diputar balikan, merubah yang bathil menjadi haq. Dan mudah-mudahan kita tidak termasuk kaum yang membudayakan praktik suap menyuap dikarena takutnya kita pada laknat dari Rasululloh Shallallohu alaihi wasallam.
salaam....
No comments:
Post a Comment